Alam rusak, alam marah, Banjir bandang datang.

Warga Sumut, khususnya di Madina yang dilanda banjir bandang –sepekan menjelang lebaran Idul Fitri 1430 H– menangis, dengan banyaknya korban yang meninggal dunia, hilang dan kerusakan yang ditimbulkan bencana alam kali ini.

Apalagi lokasinya yang jauh sehingga mempersulit datangnya bantuan dari pemerintah pusat maupun provinsi. Kita dapat merasakan bagaimana beratnya penderitaan masyarakat di lokasi bencana alam tersebut.

Kalau kita mau lebih kritis sebenarnya kisah pilu mendera warga Mandailing Natal sudah dapat diprediksi bakal datang, tinggal lagi menunggu waktu saja, mengapa? Sebab, pengrusakan hutan terus terjadi di sana tanpa dapat dicegah aparat Pemkab dan keamanan.

Musibah banjir bandang melanda daerah itu memang akibat meluapnya beberapa anak sungai setelah hujan deras mengguyur daerah Pantai Barat dalam beberapa hari ini.Banjir bandang yang menyapu Desa Salebaru, Ranto Panjang, Lubuk Kapundung, Kecamatan Muara Batang Gadis mengakibatkan 38 warga hanyut dan 7 orang ditemukan sudah meninggal dunia serta ribuan mengungsi pada Selasa (15/9) dinihari. Tapi, mengapa sungai sampai meluap. Inilah yang perlu dilakukan pengusutan segera agar kasusnya tidak terulang lagi di masa mendatang.

Memang hujan deras bisa mengakibatkan banjir, namun tidak akan sebesarsaat ini menjadi banjir bandang, bila kondisi ekosistem alam dan hutan di sekitarnya –Madina dapat dipelihara dengan baik.

Kalau saja hutan tidak dirusak, hutan tidak dieksploitasi, tidak ditanami sawit, maka curah hujan selebat apa pun tidak akan menjad bencana alam banjir bandang. Sebab, alam dapat menampung curah hujan dan menyimpannya dalam waktu lama di dalam perut bumi. Kalau tidak ada pepohonan lagi maka curah hujan langsung menuju sungai dan sungai pun tak mampu menampung derasnya debit air, sehingga menjadi banjir bandang.

Konsekuensi dari pengrusakan hutan dan alam yang semakin kerontang membuat banjir bandang dengan ganas menghanyutkan warga dan rumah-rumah warga, juga menutupi beberapa ruas jalan menuju kawasan yang terkena banjir, sehingga Desa Salebaru, Ranto Panjang dan Lubuk Kapundung terisolasi dan kalaupun bisa dijangkau harus melalui udara.

Tercatat, warga yang daerahnya terlanda banjir bandang yaitu empat desa mempunyai penduduk sekira 800 KK atau 2.000 jiwa yang sampai sekarang kondisinya belum diketahui secara pasti disebabkan medan ke wilayah itu tidak dapat dilalui dan komunikasi mati total dan tidak tertutup kemungkinan masyarakat yang memiliki HP tidak dapat mengaktifkannya sehingga hubungan ke lokasi banjir menjadi terputus. Berbagai kalangan di Panyabungan berharap agar Muspida Sumut segera turun langsung membantu Pemkab Madina untuk menjangkau kawasan yang terkena banjir bandang, karena transportasi ke sana masih sulit, sehingga sangat diperlukan helikopter.

Kini, kondisi masyarakat di sana perlu dilihat secara langsung, kalau tidak bisa dari darat, perlu diupayakan pemerintah daerah melalui udara sekaligus dalam memberikan bantuan, sebab kejadian banjir yang diketahui Bupati Amru Daulay pada pagi harinya ini merupakan bencana alam tergolong besar karena diperkirakan banyak memakan korban jiwa.

Untuk itu, tim penolong resmi dari pemerintah maupun swasta perlu segera ke lokasi melakukan tahapan tanggap darurat sehingga para korban dapat dibantu dengan segera. Adapun tim search and rescue (SAR) perlu segera meluncur ke lokasi banjir, walaupun medannya berat dan jauh. Jangan ada alasan jumlah personil terbatas dan medan evakuasi yang berat atau menjelang Idul Fitri.

Informasi yang diterima tim evakuasi masih kesulitan melakukan pencarian warga yang dinyatakan hilang. Alat berat belum dapat menjangkau lokasi akibat jalur darat terputus total, sehingga semua potensi harus dikerahkan. Di sinlah perlunya koordinasi antarpihak terkait sehingga bencana alam di Madina akibat pengrusakan hutan, illegal logging yang membuat alam marah itu, dapat ditanggulangi segera.
abcs